Rabu, 05 Januari 2011

Akhlaq dalam Islam

Allah SWT berfirman melalui Hadits Qudsi yang artinya :
” Ini adalah Agama yang telah Ku-ridhai untuk diriKu sendiri, dan tidak dapat dimanifestasikan kecuali dalam perbuatan murah hati dan akhlaq yang baik. Karena itu jadikanlah mulia dengan kedua sifat itu selama kalian menganutnya. (HQR. Sumawaih, Ibnu ’Adi, ’Uqaili, Kharaithi, Khatib, Ibnu ’Asakir dan Rafi’ie dari Anas ra.)

Islam didefinisikan sebagai agama yang diturunkan Allah SWT kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan Khaliqnya, dengan dirinya dan dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan Khaliqnya mencakup urusan ’aqidah dan ’ibadah. Sementara hubungan manusia dengan sesamanya mencakup mu’amalah dan ’uqubat/sanksi. Sedangakan hubungan manusia dengan dirinya sendiri inilah yang melingkupi masalah akhlaq, makanan/minuman dan pakaian. Oleh karena itu, Islam memecahkan problematika hidup manusia secara keseluruhan dan memfokuskan perhatiannya pada umat manusia secara integral, bukan hanya khusus terhadap individu-individu atau umat tertentu. Begitu juga Islam memecahkan problematika manusia dengan cara yang sama dan tetap (tidak berubah). (Terjemah Nidzam al Islam, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani; Abu Amin, dkk; April 1993)

Berbeda dengan akhlak, syariat islam telah merinci peraturan-peraturan ibadah, mu’amalah dan ’uqubat dengan perincian yang mendetail. Namun, walaupun syari’at Islam tidak menjadikan akhlak bagian dari peraturan yang mendetail, akan tetapi syari’at Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak berdasarkan suatu anggapan bahwa akhlak adalah perintah dan larangan Allah SWT, tanpa memperhatikan lagi apakah akhlak mesti diberikan perhatian khusus yang dapat melebihi hukum-hukum atau ajaran Islam lainnya. (Terjemah Nidzam al Islam, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani; ibid. )

Akhlak bentuk jamak dari khuluk artinya bisa berarti perangai; tabiat atau watak; bisa juga berarti adat dan beradab baik. Tabiat/perangai dilahirkan karena hasil perbuatan yang diulang-ulangi sehingga menjadi kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sopan santun dan atau etika. Adapun etika diambil dari bahasa inggris yaitu ethic yang dalam bahasa yunani disebut ethos atau ethicos.

Adapun definisi akhlak sebenarnya ialah suatu sifat (tabiat/perangai) yang ada pada diri manusia yang sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT. Kesimpulan ini diambil dari sebuah mafhum atau pemahaman bahwa akhlak adalah bagian dari syari’at Islam. Akhlak harus ada serta nampak pada diri setiap muslim, agar sempurna seluruh amal perbuatannya dengan Islam dan sempurna pula dalam melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. Disinilah relevansinya dengan sebuah hadits Rasul bahwa salah satu misi yang diembannya adalah untuk menyempurnakan akhlaq, hadits berbunyi yang artinya : ” Sesungguhnya (bahwasanya) aku (Nabi) diutus, (salah satunya) adalah untuk menyempurnakan akhlaq.” (HR. Muslim).

Akhlak mulia adalah upaya seorang Muslim sebagai eksistensi bagi dirinya, dan akhlaq pulalah yang membedakan manusia dari binatang. Kemajuan ilmu pengetahuan tanpa akhlaq akan membuat manusia lupa daratan. Semakin tinggi ilmu pengetahuan, semakin tinggi pula peralatan dan teknik membinasakan manusia. Dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, bahwa orang-orang yang melakukan kejahatan baik yang bersifat kriminalitas maupun yang bersifat kejahatan ekonomi seperti, korupsi, kolusi, privatisasi, perjudian, money politik dan lain sebagainya pasti dilakukan oleh orang yang tidak ber-akhlaq.

Syari’at Islam pada saat mengatur hubungan manusia dengan dirinya melalui hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak, tentu tidak menjadikan hal itu sebagai aturan sendiri, seperti halnya ibadah dan mu’amalah, namun yan dilakukannya tidak lain hanya berusaha merealisasikan nilai-nilai tertentu yang diperintahkan oleh Allah SWT. Jadi akhlak dapat dibentuk dengan satu cara, yaitu memenuhi perintah Allah untuk merealisir nilai moral perintah tersebut. Amanah misalnya, adalah salah satu contoh sifat akhlaq yang diperintahkan oleh Allah SWT, maka wajiblah diperhatikan nilai moral tersebut tatkala melaksanakan amanat.

Adapun munculnya sifat-sifat tersebut, tidak lain karena hasil perbuatan manusia, atau sifat-sifat itu muncul karena memang wajib diperhatikan tatkala melaksanakan berbagai mu’amalah (transaksi), seperti jujur yang harus ada pada saat mereka melakukan jual beli, dengan catatan bahwa aktifitas jual beli tidak otomatis menghasilkan nilai akhlaq tertentu. Sebab, nilai tersebut tidak dijadikan tujuan dari pelaksanaan aktifitas jual beli, tetapi sifat tersebut muncul sebagai hasil dari pelaksanaan amal perbuatan, atau suatu hal yang selalu wajib diperhatikan dan merupakan sifat-sifat akhlaq bagi seorang mukmin tatkala ia beribadah kepada Allah SWT atau pada saat ia melaksanakan aktifitas mu’amalah.

Syara’ telah menjelaskan sifat-sifat yang dianggap sebagai akhlaq yang baik seperti : Suka menolong kepada sesamanya, berbakti kepada kedua orang tua, suka berempati kepada sesama kaum Muslimin, manis muka, berlaku jujur dalam hal apapun, mencintai saudaranya sesama muslim sebagaimana mencintai dirinya sendiri dll yang dianggap sebagai dorongan rasa keimanan kepada Allah SWT, seperti dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda yang artinya :

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik ra, pelayan Rasulullah saw, dari Nabi saw, beliau berkata : ” Tidak beriman (secara sempurna) salah seorang diantara kalian, sampai dia mencintai saudaranya, sebagaimana mencintai dirinya sendiri”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain dijelaskan, yang artinya :
Dari Nu’man bin Basyir ra, katanya Rasul saw bersabda : ” Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi bagaikan sebuah tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh (yang lain) akan merasakan sakit pula, tidak dapat tidur dan terasa demam. ” (HR. Muslim).

Berdasarkan hal ini, seorang muslim harus mempunyai akhlaq dengan segala sifat-sifatnya, sebab hal ini berhubungan dengan taqwa kepada Allah. Perlu diketahui dan dipahami, berdasarkan keterangan-keterangan di atas, bahwa disatukannya akhlaq dengan seluruh peraturan hidup akan menjadi jaminan pembentukan pribadi muslim, mengingat bahwa mempunyai sifat-sifat akhlaq merupakan pemenuhan terhadap perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya dalam kehidupan sehari-hari.

Perlu digaris bawahi, bahwa ber-akhlaq bukan semata-mata karena membawa atau melakukan aspek mashlahat (manfaat) atau mudharat dalam kehidupan. Karena ber-akhlaq tidak ditujukan semata-mata demi sebuah kemanfaatan. Sekedar contoh : Seorang non muslim yang melakukan kebaikan/kemanfaatan bagi orang lain seperti menolong/membantu orang, atau memberikan sesuatu yang merupakan kebutuhan bagi orang lain, tidak bisa dikatakan bahwa ia telah ber-akhlaq, alasannya karena ia tidak pernah sama sekali mengucapkan ” Tiada Tuhan selain Allah”. Sebab bagaimana mungkin ia dikatakan berakhlaq, sementara akhlaq adalah bagian dari perintah Allah, sementara ia tidak mengimani akan adanya Allah SWT.

Dengan demikian, inilah yang menjadikan seorang muslim mempunyai sifat akhlaq yang baik secara terus-menerus dan konsisten, selama ia berusaha melaksanakan Islam dan selama ia tidak mengikuti –hanya sekedar memperhatikan- aspek manfaat belaka.

Walhasil, pemikiran yang menjadi dasar untuk akhlaq adalah bahwasanya ia harus disandarkan kepada ’aqidah islamiyah sebagai pondasi dasar seorang muslim dalam ber-akhlaq, baik akhlaq kepada Allah, Rasul-Nya, maupun kepada sesamanya.